05 June 2016

Mengapa Edukasi Asuransi Jalan di Tempat?

Minggu lalu kami bergabung bersama blogger Surabaya atas undangan dari Mas Budiono yang katanya mendapatkan undangan buat datang ke acara tentang mencari uang via Instagram. Melihat tempatnya sebenarnya agak malas karena jauh banget. Tapi karena materinya menarik, maka kami sanggupi untuk berangkat.

Sampai lokasi agak telat karena jalanan macet banget mulai bundaran satelit hingga PTC. Ya jalan itu memang setiap hari macet. Untung saja naik motor sehingga bisa menyelip diantara mobil yang terjebak kemacetan parah.

Nah sampai sana baru ketahuan bahwa ternyata ini adalah acara sebuah perusahaan asuransi bernama Sun Life Financial Indonesia. Oke tidak masalah, sekalian belajar tentang asuransi. Kebetulan juga lagi memilih-milih asuransi apa yang cocok untuk saya.

Dari pihak Sun Life yang memberikan presentasi adalah pimpinannya langsung yaitu Bapak Kaisar Simanungkalit. Beliau menjelaskan pentingnya perencanaan keuangan sedini mungkin. Sedangkan soal asuransi lebih banyak dijelaskan oleh Ibu Joice penulis buku tentang asuransi.

Nah dari sana saya justru berfikir, mengapa kok edukasi tentang asuransi itu seperti jalan di tempat? Terbukti menurut Pak Kaisar dari keseluruhan warga Indonesia, yang punya asuransi gak sampai 5% lho! Padahal di luar negeri sana hampir semua warga negara wajib memiliki asuransi, khuusnya asuransi kesehatan.

Menurut pemikiran saya, edukasi asuransi seperti jalan di tempat dikarenakan:

  1. Agen asuransi yang agresif. Diakui atau tidak ini paling merusak citra asuransi. Agen asuransi menawarkan via telepon bicaranya tiada henti. Ketika dibilang tidak butuh, atau tidak tertarik, dia akan menelepon lagi besoknya. Calon nasabah bukan tertarik, tapi justru takut karena seperti diteror! Agen asuransi yang datang langsung-pun banyak yang agresif, yaitu menawarkan dengan melebih-lebihkan produknya sambil menjelek-jelekkan produk asuransi lain. Ketika ditolak, kadang mereka menuduh kita orang yang pelit dan tidak peduli masa depan. Padahal bisa jadi awalnya minat, tapi berhadapan dengan agen seperti itu jadinya merasa tidak nyaman.
  2.  Masih konvesional. Belum banyak perusahaan asuransi yang memanfaatkan teknologi dalam mengedukasi soal pentingnya asuransi. Mereka kebanyakan masih mengandalkan sales dan agen door to door. Kenapa tidak memanfaatkan internet? Media sosial sekarang sangat gencar, YouTube channel makin banyak, Twitter dan Instagram tidak pernah sepi, demikian juga dengan Facebook. Untungnya Sun Life Financial Indonesia yang mengunang kami waktu itu termasuk yang sudah melek teknologi. Mereka mengembangkan platform bernama Bright Advisor untuk menjawab pertanyaan calon nasabah.
  3. Klausul dalam polis yang memakai bahasa rumit. Nah itu juga berperan dalam edukasi asuransi yang begitu-begitu saja. Yang punya polis asuransi malas membaca klausul dalam buku polis karena bahasa yang digunakan sangat rumit, susah untuk difahami. Mestinya digunakan bahasa yang populer yang lebih mudah, atau menggunakan ilustrasi gambar.
Nah itu tadi 3 hal yang menurut saya paling berpengaruh dalam edukasi asuransi yang tidak berkembang di Indonesia. Semoga ini bisa menjadi bahan evaluasi yang baik bagi perusahaan asuransi.